Selasa, 08 Juni 2010

tugas riset akutansi

PENGARUH BUDAYA ETIS ORGANISASI DAN ORIENTASI ETIKA TERHADAP SENSITIVITAS ETIKA
June 4, 2010 | Posted by joernal
Teori Perkembangan Moral Kognitif
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Ada enam tingkatan dalam Teori Kohlberg (Ponemeon, 1992). Dalam dua tahap pertama dari perkembangan moral, disebut dengan Pre-coventional, orang-orang (biasanya anak-anak) membuat keputusan-keputusan moral berdasarkan pada imbalan dan hukuman. Tahap tiga dan empat disebut Conventional, dalam tahap ini seseorang sudah memperhatikan aturan-aturan sosial dan kebutuhan-kebutuhan sesama. Tahap kelima dan keenam disebut Post-conventional, dimana kebaikan bagi masyarakat telah dimasukkan dalam pemikiran moral.
Trevino (1986) menitikberatkan Teori Kohlberg dalam mengidentifikasi pengaruh individu terhadap keputusan etis, tetapi berbeda dengan Ferrel dan Gresham (1986); Hunt dan Vitell (1986) yang memasukkan variabel personal value dalam pengambilan keputusan. Meskipun demikian, Trevino (1986); Hunt dan Vitell (1986) secara jelas menjelaskan bahwa budaya etis organisasi sebagai faktor organisasional yang berpengaruh pada perilaku etis seseorang.
Budaya Etis Organisasi
Budaya organisasi pada intinya merupakan sebuah sistem dari nilai-nilai yang bersifat umum. Adapun nilai-nilai personal mulai dikembangkan pada saat awal kehidupan, seperti halnya kepercayaan pada umumnya, tersusun dalam sistem hirarki dengan sifat-sifat yang dapat dijelaskan dan diukur, serta konsekuensi-konsekuensi perilaku yang dapat diamati (Douglas et.al, 2001).
Sistem nilai umum yang dijelaskan oleh Ouchi (1919, 1980) adalah bagian dari keseluruhan budaya organisasi. Nilai-nilai tersebut merupakan inti dari budaya organisasi yang tercermin dalam praktek organisasi. Persepsi terhadap budaya organisasi didasarkan pada kondisi-kondisi yang dialami seseorang dalam organisasinya, seperti penghargaan, dukungan, dan perilaku yang diharapkan diperoleh di organisasi.
Orientasi Etika
Menurut Forsyth (1980) yang juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya dalam bidang psikologi (Hogan, 1970; Kelman & Lawrence, 1972; Kohlberg, 1976) membuktikan bahwa orientasi etika dikendalikan oleh dua karakteristik yaitu idealisme dan relativisme. ldealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai moral. Sedangkan relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku etis. Kedua konsep tersebut bukan merupakan dua hal yang berlawanan tetapi lebih merupakan skala yang terpisah, yang dapat dikategorikan menjadi empat klasifikasi sikap orientasi etika : (1) Situasionisme, (2) Absolutisme, (3) Subyektif dan (4) Eksepsionis
Penelitian Hunt dan Vitell (1984) yang dilakukan pada manajemen pemasaran mendukung adanya hubungan orientasi etika dengan faktor eksternal seperti lingkungan budaya, lingkungan industri atau perusahaan, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi yang merupakan faktor interna lindividu tersebut. Kemudian Finn et al. (1988) mengembangkan basil penelitian Hunt dan Vitell dengan menggunakan skala idealisme dan relativisme dari Forsyth, dimana lingkungan budaya dan pengalaman pribadi diasumsikan membentuk orientasi etika.
Sensitivitas Etika
Kemampuan seorang profesional untuk berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh sensitivitas individu tersebut. Faktor yang penting dalam menilai perilaku etis adalah adanya kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen moral. Kesadaran individu tersebut dapat dinilai melalui kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etis dalam suatu keputusan yang disebutkan sebagai sensitivitas etika (Velasque dan Rostankowski, 1985). Rest (1983) mengajukan model atau rerangka analisis empat komponen kerangka kerja untuk meneliti pengembangan proses berpikir moral individual dan perilaku individu dalam mengambil keputusan dimana tiap komponen tersebut mempengaruhi perilaku moral dan kegagalan pada komponen dapat menyebabkan perilaku yang tidak etis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar